Cenil: Warisan Manis dari Dapur Mbah Sumi
Januari 15, 2025 | by adjihermawan@students.amikom.ac.id

Sore itu, langit Yogyakarta mulai memerah ketika saya memasuki gang sempit di kawasan Kotagede. Aroma manis yang khas menguar dari sebuah rumah joglo tua, menuntun langkah saya menuju dapur tradisional Mbah Sumi. Di usianya yang menginjak 83 tahun, jemarinya masih lincah membentuk adonan cenil menjadi gulungan-gulungan kecil yang menggemaskan.
“Nduk, cenil ini bukan sekadar jajanan pasar biasa,” ujar Mbah Sumi sambil mengaduk adonan tepung kanji dengan air hangat. Tangannya yang keriput bergerak mengikuti ritme yang telah dihafalnya selama lebih dari enam dekade. “Ada cerita di setiap bentuknya, ada kenangan di setiap rasanya.”
Cenil buatan Mbah Sumi berbeda dari yang lain. Teksturnya kenyal namun tidak lengket, dengan warna-warni alami yang didapat dari daun suji, kunyit, dan angkak. “Dulu waktu masih kecil, anak-anak saya selalu berebut untuk membantu mewarnai adonan,” kenangnya sambil tersenyum. “Mereka paling senang kalau dapat tugas menaburkan parutan kelapa.”
Proses pembuatan cenil di dapur Mbah Sumi masih sangat tradisional. Tungku kayu menjadi andalan untuk merebus adonan, memberikan aroma khas yang tak bisa ditiru kompor gas modern. “Asap kayunya itu yang bikin beda,” jelasnya sambil mengangkat cenil yang sudah matang ke dalam tampah bambu.
Di balik kesederhanaannya, cenil menyimpan filosofi mendalam. Bentuknya yang bulat panjang melambangkan perjalanan hidup yang terus mengalir, sementara taburan kelapa parut dan gula merah mencerminkan manis pahitnya kehidupan. “Seperti hidup ini, Nduk. Kadang manis, kadang gurih, tapi tetap harus dinikmati,” tutur Mbah Sumi bijak.
Setiap hari, mulai pukul empat pagi, dapur kecil ini sudah mengepul. Para tetangga sudah hafal, aroma cenil Mbah Sumi adalah penanda bahwa hari baru telah dimulai. “Yang beli bukan cuma orang sini. Ada yang dari Jakarta, Bandung, bahkan pernah ada turis dari Belanda yang sengaja mampir karena dengar cerita dari temannya.”
Kekhawatiran akan punahnya jajanan tradisional tidak mengusik Mbah Sumi. Dengan sabar, dia menurunkan ilmunya kepada cucu-cucunya. “Yang penting bukan cuma resepnya, tapi juga ceritanya. Biar mereka tahu, setiap cenil yang dibuat itu ada sejarahnya, ada maknanya.”
Sore semakin temaram ketika saya menghabiskan cenil terakhir di piring. Rasanya masih sama seperti pertama kali saya mencicipinya bertahun-tahun lalu: kenyal, gurih, dengan sentuhan manis yang pas. Mbah Sumi masih duduk di sudut dapurnya, tersenyum melihat pengunjung yang datang silih berganti.
“Selama masih ada yang ingat, selama masih ada yang mau belajar, cenil ini tidak akan hilang,” katanya penuh keyakinan. Dan memang benar, di tengah gempuran makanan modern, cenil Mbah Sumi tetap bertahan sebagai saksi bisu warisan kuliner nusantara yang tak lekang oleh waktu.
RELATED POSTS
View all