snackjogja.xyz

Cenil: Sentuhan Manis dari Tangan yang Telaten

Januari 15, 2025 | by adjihermawan@students.amikom.ac.id

cenil

Ketika mentari belum sepenuhnya bangun, asap tipis sudah mengepul dari dapur sederhana di ujung Gang Mangga. Mak Inah, dengan kebaya lusuhnya yang khas, sudah memulai ritual hariannya membuat cenil. Jari-jari tangannya yang mulai keriput bergerak lincah menguleni adonan tepung kanji dengan air hangat, menciptakan tekstur yang pas.

“Cenil ini sudah menemani saya 35 tahun,” ujarnya sambil mengaduk adonan dalam panci aluminium yang sudah menghitam. “Dari zaman masih jualan keliling sampai sekarang punya warung kecil ini.” Matanya yang mulai rabun masih jeli memperhatikan setiap detail dalam proses pembuatan.

Di dapur mungilnya yang beratap seng, Mak Inah menyimpan resep warisan dari mendiang ibunya. Pewarna alami dari daun suji dan kunyit masih menjadi andalannya, menolak tawaran anak-anaknya untuk beralih ke pewarna buatan. “Memang lebih repot,” akunya. “Tapi ini cara menghormati leluhur yang menurunkan resep ini.”

Proses membuat cenil di tangan Mak Inah adalah tarian yang memukau. Adonan dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing diberi warna berbeda – hijau dari daun suji, kuning dari kunyit, dan merah dari bit yang dihaluskan. “Warna-warni ini seperti pelangi kehidupan,” filosofinya sambil membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan kecil.

Setiap pagi, para tetangga sudah hafal dengan ritual Mak Inah. Aroma khas cenil yang direbus mengundang anak-anak kecil untuk mengintip dari jendela dapurnya. “Yang bikin saya semangat itu kalau lihat anak-anak senang,” katanya sambil menabur kelapa parut di atas cenil yang masih hangat.

Pelanggan setianya beragam, dari tukang sayur yang mampir istirahat, ibu-ibu yang belanja ke pasar, hingga anak sekolah yang jajan sebelum masuk kelas. “Cenil ini pemersatu,” ujarnya bangga. “Lihat saja, di warung kecil ini semua orang bisa duduk bersama.”

Mak Inah punya cara sendiri menyajikan cenilnya. Kelapa parut harus yang baru diparut pagi itu, gula merah diiris halus agar mudah meleleh, dan cenil harus disajikan dalam keadaan hangat. “Kalau sudah dingin rasanya beda,” jelasnya. “Seperti kehidupan, harus dinikmati selagi hangat.”

Di tengah gempuran makanan modern, cenil Mak Inah tetap punya tempat di hati pelanggannya. “Banyak yang bilang ini jajanan ndeso,” katanya tanpa tersinggung. “Tapi justru yang sederhana ini yang bikin kangen rumah.”

Menjelang siang, nampan-nampan cenil Mak Inah mulai kosong. Yang tersisa hanya aroma manis yang masih mengambang di udara dan obrolan hangat para pelanggan yang betah berlama-lama. “Cenil ini bukan sekadar jajanan,” katanya. “Ini penyambung silaturahmi.”

Di dinding warungnya yang mulai mengelupas, terpajang foto-foto lawas yang menguning. Ada foto pertama kali dia jualan keliling, foto pelanggan setia yang kini telah tiada, dan foto anak-anaknya yang sudah berkeluarga. “Setiap foto ada ceritanya,” ujarnya sambil tersenyum.

Saat membereskan warungnya sore itu, Mak Inah menatap puas ke arah panci-pancinya yang sudah kosong. “Besok kita mulai lagi,” katanya penuh semangat. “Selama masih ada yang mencari rasa rumah dalam cenil, saya akan terus memasak dengan sepenuh hati.”

Kisah cenil Mak Inah adalah testimoni bahwa dalam dunia yang bergerak cepat, masih ada tempat untuk sesuatu yang dibuat dengan kesabaran dan cinta. Setiap gigitan cenilnya bukan sekadar memanjakan lidah, tapi juga membawa pulang kenangan akan kehangatan rumah.

RELATED POSTS

View all

view all