Tahu Gejrot: Harmoni Rasa di Gerobak Pak Karso
Januari 15, 2025 | by adjihermawan@students.amikom.ac.id

Matahari Cirebon belum sepenuhnya terbit ketika Pak Karso mendorong gerobak kayunya yang sudah mulai lapuk di sepanjang gang sempit Kejaksan. Suara dentingan cobek batu bertemu ulekan dan aroma bumbu kecap yang khas menjadi penanda bahwa sang legenda tahu gejrot telah memulai harinya.
“Sudah 45 tahun saya jualan di sini,” ujar Pak Karso sambil menata tahu goreng yang masih hangat di atas tampah bambu. “Dulu masih pakai gerobak dorong warisan bapak, sekarang sudah punya tempat mangkal sendiri.” Tangannya yang kasar karena bertahun-tahun menggoreng tahu bergerak cekatan memotong-motong tahu menjadi ukuran yang pas.
Di balik kesederhanaan gerobaknya, tersimpan rahasia bumbu yang telah diwariskan tiga generasi. Bawang putih dipilih yang tua dan keras, cabai rawit diseleksi tingkat pedasnya, dan kecap manis khusus diambil dari produsen langganan di Kuningan. “Yang bikin tahu gejrot enak itu bumbunya,” jelasnya sambil menggerus campuran bumbu di cobek batu. “Tapi yang bikin pelanggan balik lagi itu ceritanya.”
Setiap pagi, ritual Pak Karso dimulai dengan menggoreng tahu di rumahnya yang sederhana. Tahu putih dipilih yang fresh dari pabrik langganan, digoreng dengan minyak yang selalu baru hingga kecokelatan sempurna. “Tahunya harus garing di luar tapi tetap lembut di dalam,” terangnya. “Kalau tidak pas, lebih baik tidak jualan.”
Saat menuang kuah berwarna kecokelatan ke atas tahu yang sudah digejrot (dihancurkan), mata Pak Karso selalu berbinar. “Dengar suara ‘krecek’ waktu kuah ketemu tahu, itu musik paling merdu,” katanya sambil tertawa. Kuah dengan campuran gula merah, kecap, dan cabai menciptakan harmoni rasa yang membuat penikmatnya ketagihan.
Para pelanggan Pak Karso beragam, dari tukang becak yang mampir saat istirahat siang, pegawai bank yang rela antri di bawah terik matahari, hingga wisatawan yang sengaja mampir karena rekomendasi food blogger. “Tahu gejrot ini pemersatu,” ujarnya. “Di gerobak saya, semua orang sama, yang penting bisa menikmati makanan dengan tenang.”
Pak Karso punya cara sendiri dalam menyajikan tahu gejrotnya. Setiap porsi harus memiliki jumlah tahu yang pas, kuah yang seimbang, dan level pedas yang disesuaikan dengan permintaan pelanggan. “Yang makan harus tersenyum,” katanya. “Kalau tidak tersenyum, berarti ada yang kurang.”
Di tengah gempuran franchise modern dan café kekinian, gerobak tahu gejrot Pak Karso tetap ramai pembeli. “Banyak yang bilang ini makanan kampungan,” katanya tanpa rasa tersinggung. “Tapi coba lihat, yang antri bukan cuma orang kampung. Artis juga ada yang langganan.”
Menjelang sore, ketika matahari mulai teduh, gerobak Pak Karso masih dikerubungi pembeli. Ada yang sengaja menunggu jam pulang kantor untuk mampir, ada yang membawa rantang untuk dibawa pulang. “Yang bikin saya bertahan itu bukan untungnya,” katanya sambil menyeka keringat. “Tapi kalau lihat orang makan dengan lahap, rasanya semua capek hilang.”
Di sudut gerobaknya, tertempel foto-foto lusuh pelanggan yang sudah menjadi seperti keluarga. Ada yang sudah langganan sejak masih sekolah, kini datang bersama anak-anaknya. “Setiap foto ada ceritanya,” ujar Pak Karso bangga. “Seperti tahu gejrot ini, sederhana tapi penuh makna.”
Saat matahari tenggelam dan gerobak mulai dibereskan, Pak Karso masih menyempatkan diri mengobrol dengan pelanggan terakhirnya. “Besok kita ketemu lagi,” katanya penuh semangat. “Selama masih ada yang suka tahu gejrot, selama itu pula saya akan terus memasak dengan sepenuh hati.”
Kisah tahu gejrot Pak Karso adalah testimoni bahwa makanan jalanan bisa menjadi pengikat kenangan dan pembawa kebahagiaan. Setiap gigitan tahunya bukan sekadar memanjakan lidah, tapi juga menghadirkan kehangatan seperti pelukan sahabat lama.
RELATED POSTS
View all