Sate Usus: Gurihnya Jeroan yang Menggoda Selera
Januari 15, 2025 | by adjihermawan@students.amikom.ac.id

Malam semakin larut di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Namun, di sebuah sudut jalan, gerobak sederhana milik Mas Agus masih ramai dikunjungi pembeli. Asap mengepul dari panggangan arangnya, membawa aroma khas yang mengundang selera: sate usus ayam yang sudah jadi legenda selama 20 tahun terakhir.
“Dulu ini warisan dari Bapak,” ujar Mas Agus sambil membalik-balik tusukan sate di atas panggangan. Tangannya yang sudah terlatih dengan cepat membolak-balik puluhan tusuk sate usus, memastikan setiap bagiannya matang sempurna. “Resepnya masih sama, tidak berubah sejak tahun 90-an.”
Proses pembuatan sate usus tidak sesederhana kelihatannya. Setiap pagi, Mas Agus menghabiskan waktu berjam-jam membersihkan usus ayam segar yang dia beli dari pasar. “Kuncinya di pembersihan. Harus teliti, tidak boleh main-main,” jelasnya. Usus dibersihkan berkali-kali dengan air mengalir, dibalik bagian dalamnya, kemudian direndam dalam air kapur sirih dan garam untuk menghilangkan aroma tidak sedap.
Bumbu marinasi menjadi rahasia kelezatan sate usus Mas Agus. Campuran bawang putih, ketumbar, garam, dan rempah rahasia lainnya dihaluskan, kemudian usus direndam dalam bumbu ini selama minimal 4 jam. “Bumbunya harus meresap sampai ke dalam,” tegasnya. Setelah itu, usus dipotong-potong dan ditusuk, siap untuk dipanggang.
Di gerobaknya yang sederhana, Mas Agus menawarkan beberapa varian sate usus. Ada yang original, pedas, dan super pedas dengan tambahan sambal rawit. Semua disajikan dengan bumbu kacang yang kental, racikan istrinya sendiri. “Bumbu kacangnya pakai kacang tanah pilihan, digoreng dengan api kecil biar tidak gosong,” jelas Bu Yanti, istri Mas Agus yang selalu setia membantu di gerobak.
Harga yang ditawarkan sangat bersahabat: Rp 2.000 per tusuk atau Rp 20.000 untuk sepuluh tusuk dengan bumbu lengkap. Pembeli bisa memilih untuk menikmatinya langsung di tempat, duduk di kursi plastik sederhana yang disediakan, atau dibungkus untuk dibawa pulang.
Yang menarik, sate usus Mas Agus telah menciptakan komunitas tersendiri. Para pelanggan setianya bukan hanya warga sekitar, tapi juga pekerja kantoran hingga mahasiswa yang rela menyambangi gerobaknya di malam hari. “Ada yang sudah langganan sejak masih sekolah, sekarang anaknya juga ikut jadi pelanggan,” ceritanya bangga.
Meski tergolong jajanan sederhana, sate usus membawa dampak ekonomi yang tidak kecil. Dari usaha ini, Mas Agus berhasil menyekolahkan kedua anaknya hingga perguruan tinggi. Setiap hari, ia menghabiskan sekitar 10 kg usus ayam yang dibelinya dari pemasok tetap di Pasar Senen.
Tantangan terbesar dalam menjalankan usaha ini adalah menjaga konsistensi rasa dan kebersihan. “Soal kebersihan tidak bisa ditawar,” tegas Mas Agus. Ia selalu memastikan peralatan dan area masaknya bersih, serta menggunakan sarung tangan saat mengolah makanan.
Di tengah maraknya franchise makanan modern, sate usus tetap memiliki tempat di hati pecinta kuliner jalanan. Kelezatan dan harganya yang terjangkau menjadikannya pilihan favorit untuk makan malam atau sekedar camilan. Bagi Mas Agus, sate usus bukan sekadar sumber penghasilan, tapi juga warisan kuliner yang harus dijaga keasliannya.
Kehadiran pedagang sate usus seperti Mas Agus menjadi bukti bahwa makanan sederhana pun bisa menjadi penopang ekonomi keluarga. Dari gerobak kecil di pinggir jalan, mengalir berkah bagi banyak orang, mulai dari pemasok bahan baku hingga para pelanggan yang mendapatkan makanan lezat dengan harga terjangkau.
RELATED POSTS
View all