Cirambay: Sentuhan Pedas nan Menyegarkan dari Tanah Pasundan
Januari 15, 2025 | by adjihermawan@students.amikom.ac.id
Di sebuah warung sederhana di sudut Pasar Baru, Bandung, Bi Euis sibuk mengaduk kuah merah yang mengepul di dalam panci aluminium lusuh. Aroma rempah yang menggoda menguar ke udara, mengundang para pembeli untuk mencicipi cirambay, hidangan khas Sunda yang semakin langka ditemui.
“Sudah 30 tahun lebih saya jualan cirambay di sini,” ujar Bi Euis sambil menata piring berisi sayuran rebus yang akan disiram kuah pedasnya yang khas. Tangannya yang sudah keriput namun tetap cekatan memilih kangkung, labu siam, dan kacang panjang yang masih segar untuk pelanggannya.
Cirambay, yang dalam bahasa Sunda berarti ‘disiram’, adalah sajian sederhana berupa aneka sayuran rebus yang disiram dengan kuah pedas berbahan dasar cabai dan terasi. Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan kerumitan rasa yang membuatnya istimewa.
“Kuncinya ada di bumbunya,” jelas Bi Euis sambil menghaluskan cabai dengan cobek batu yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Racikan bumbu cirambay Bi Euis terdiri dari cabai merah, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, dan terasi pilihan yang dibakar hingga aromanya menggoda. Semua bahan ini dihaluskan dengan tangan, tanpa bantuan blender. “Rasanya beda kalau diulek pakai tangan,” tegasnya.
Setiap pagi, Bi Euis sudah harus ke pasar untuk memilih sayuran segar. Kangkung, labu siam, kacang panjang, toge, dan mentimun menjadi bahan utama cirambaynya. Sayuran-sayuran ini direbus sebentar hingga matang namun tetap renyah. “Jangan terlalu lama direbus, nanti lembek,” pesannya.
Yang membuat cirambay Bi Euis berbeda adalah kuahnya yang kental dan gurih. Selain bumbu yang dihaluskan, ia menambahkan kaldu ayam kampung yang direbus dengan tulang dan rempah-rempah. “Dulu resep ini dari almarhum ibu saya. Tidak boleh diganti-ganti,” katanya sambil tersenyum.
Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, mulai dari Rp 10.000 per porsi. Pembeli bisa memilih sayuran sesuai selera, dan meminta level kepedasan yang diinginkan. “Ada yang suka pedas banget, ada yang minta sedang. Kita sesuaikan,” jelasnya.
Warung cirambay Bi Euis tidak hanya menjadi tempat makan, tapi juga ruang bertukar cerita. Para pelanggan setianya, dari pedagang pasar hingga karyawan kantoran, sering meluangkan waktu untuk mengobrol sambil menikmati hidangan hangat ini. “Banyak yang bilang cirambay ini mengingatkan mereka sama masakan ibunya,” ujar Bi Euis.
Meski popularitas cirambay tidak sebesar kuliner Sunda lainnya seperti nasi timbel atau karedok, hidangan ini menyimpan nilai sejarah yang dalam. Dulu, cirambay adalah hidangan sehari-hari masyarakat Sunda yang hidup sederhana. Sayuran yang mudah didapat dan bumbu yang sederhana menjadikannya pilihan praktis untuk keluarga.
Namun di tengah gempuran makanan cepat saji, eksistensi cirambay mulai tergerus. “Sekarang yang jualan cirambay sudah jarang. Anak muda lebih suka makanan yang aneh-aneh,” keluh Bi Euis. Meski begitu, ia tetap bertahan menjajakan hidangan tradisional ini, berharap generasi muda masih bisa merasakan kelezatan masakan warisan leluhur.
Cirambay bukan sekadar hidangan. Ia adalah cermin kesederhanaan dan kearifan lokal masyarakat Sunda dalam mengolah bahan makanan. Setiap sendok kuahnya yang pedas menyimpan cerita tentang tradisi dan kenangan yang tak terlupakan. Di warung sederhana Bi Euis, cirambay tetap bertahan sebagai pengingat akan kekayaan kuliner nusantara yang patut dilestarikan.
RELATED POSTS
View all