Risol Mayo: Sentuhan Kasih dalam Balutan Tepung
Januari 15, 2025 | by adjihermawan@students.amikom.ac.id
Jarum jam baru menunjukkan pukul empat pagi, namun lampu dapur Bu Tini sudah menyala terang. Suara penggorengan yang beradu dengan spatula kayu memecah keheningan gang sempit di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Di usianya yang menginjak 58 tahun, Bu Tini masih setia menggoreng risol dengan tangannya sendiri, menolak tawaran anak-anaknya untuk mempekerjakan karyawan.
“Risol ini bukan sekadar gorengan,” ujarnya sambil menggulung kulit risol dengan cekatan. “Ini cerita hidup saya selama 30 tahun.” Tangannya yang mulai keriput bergerak lincah melipat ujung kulit risol, menciptakan bentuk yang rapi dan seragam. Setiap lipatan menyimpan kisah perjuangan seorang janda yang berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana dari hasil berjualan risol.
Dapur sempit Bu Tini adalah saksi bisu evolusi risol dari waktu ke waktu. Dari risol sederhana berisi sayuran cincang, berkembang menjadi risol mayo yang kini menjadi incaran anak muda. “Zaman berubah, risol juga harus berubah,” filosofinya sambil mengaduk adonan mayones buatan sendiri. “Tapi yang tidak boleh berubah adalah kualitas dan rasanya.”
Setiap pagi, Bu Tini selalu memulai dengan ritual yang sama. Tepung terigu protein tinggi diayak halus, telur ayam kampung dipilih satu per satu, dan daging ayam dibersihkan dengan telaten. “Rahasia risol enak itu ada di kulit,” jelasnya sambil menuang adonan tipis ke atas teflon. “Harus tipis tapi tidak mudah sobek, kenyal tapi tidak alot.”
Pelanggan setianya beragam, dari pegawai kantoran yang memesan untuk acara meeting, hingga siswa SMP yang mampir sepulang sekolah. “Paling seneng kalau lihat anak-anak sekolah nabung buat beli risol,” ceritanya sambil tersenyum. “Mengingatkan saya sama anak-anak saya dulu.”
Di tengah maraknya franchise modern dan makanan kekinian, risol Bu Tini tetap mempertahankan kejayaannya. “Banyak yang bilang risol saya mahal,” katanya. “Tapi coba lihat ukurannya, isinya. Saya tidak pernah pelit sama pelanggan.” Memang, risol Bu Tini terkenal dengan ukurannya yang jumbo dan isian yang melimpah – potongan ayam yang besar, telur rebus utuh, dan mayones creamy yang tidak pelit.
Setiap risol yang keluar dari penggorengan harus melewati standar ketat Bu Tini. Warna kulit harus keemasan sempurna, remah tepung roti harus renyah merata, dan suhu isian harus pas. “Kalau tidak sempurna, saya tidak jual,” tegasnya. “Lebih baik rugi uang daripada rugi kepercayaan.”
Menjelang siang, aroma risol yang menggoda semakin menguat. Para pelanggan setia mulai berdatangan, membentuk antrian panjang di depan dapurnya. Ada yang rela datang dari luar kota hanya untuk mencicipi risol legendaris ini. “Yang bikin saya bertahan sampai sekarang itu bukan untungnya,” kata Bu Tini. “Tapi kesetiaan pelanggan yang sudah seperti keluarga.”
Di sudut dapur, terpajang foto-foto pelanggan yang telah menjadi bagian dari perjalanan risol Bu Tini. Ada foto anak yang dulu jajan sepulang sekolah, kini datang membawa anaknya sendiri. Ada foto pernikahan pelanggan yang memesan risol untuk souvenir. “Setiap foto ada ceritanya,” ujarnya bangga.
Saat matahari mulai condong ke barat, Bu Tini mulai membereskan dapurnya. Peralatan dicuci hingga mengkilap, lantai disapu bersih, dan sisa bahan disimpan rapi di kulkas. “Besok kita mulai lagi,” katanya penuh semangat. “Selama masih ada yang suka risol, selama itu pula saya akan terus memasak dengan sepenuh hati.”
Kisah risol Bu Tini adalah testimoni bahwa dalam dunia kuliner yang terus berubah, cita rasa autentik dan sentuhan personal tidak akan pernah kehilangan tempatnya. Setiap gigitan risolnya bukan sekadar memanjakan lidah, tapi juga menghadirkan kehangatan seperti pelukan seorang ibu.
RELATED POSTS
View all